From now on, I use Ubuntu for my Linux desktop

10 01 2008

debianvsubuntuHehe.. meski judulnya in English, artikelnya pakai Bahasa Indonesia saja, meski tidak seratus persen conforming EYD standards.

Begini.. sebenarnya artikel kali ini sederhana, hanya menceritakan perpindahan saya dari “pengguna fanatik” salah satu distro, Debian GNU/Linux, ke distro turunannya (Ian Murdock menyebutnya anakan), Ubuntu Linux khususnya pada penggunaan di desktop. Namun saya terpancing untuk menceritakan ke-linux-an saya dari awal (dan mungkin terlalu detil).

Saya kenal dan menggunakan Linux setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, dimulai dari langganan tabloid KompuTek saat masih di SMA. Saat itu tarafnya hanya sebatas kenal saja, dan tidak sempat melihatnya secara langsung, apalagi mencoba mengoperasikannya. Di bangku kuliah, Linux dikenalkan oleh kakak-kakak senior di jurusanT. Informatika sewaktu Mabim (Masa Bimbingan), alias OSPEK jurusan. Itupun masih belum menggerakkan saya untuk mencoba (menginstall, menggunakan). Bahkan di awal-awal masa kuliah, saya lebih banyak mendengar cerita tentang Linux lebih pada kejadian-kejadian buruknya saja. “Waduh, harddiskku terformat gara-gara nginstall RedHat”. “Waduh, sudah terinstall, tapi susah makainya”. Itu hanya sebagian keluhan teman-teman kuliah yang sudah mencobanya, dan kejadian “harddisk terformat” (tentunya dengan data di dalamnya yang telah dikumpulkan selama memakai Windows) adalah kejadian paling sering. Meski ini hanya terjadi pada kasus si penginstall tidak memahami struktur partisi dan mekanisme pemartisian harddisk, tak urung kejadian ini membuat banyak orang mengurungkan niatnya.

Hari berganti hari, masa-masa kuliah saya lalui hampir tanpa Linux. Saya nyambi mengembangkan beberapa website dari kamar kost dengan PC berbasis Windows dan berkonsentrasi di situ, dan hanya sempat bereksperimen sesekali mencoba distro Linux tertentu untuk diinstall. Itupun sepertinya hanya saat di perkuliahan ada praktikum sistem operasi, yang oleh kakak-kakak asisten diisi dengan materi full Linux. Mitos yang saya dengar waktu itu, senior yang paling senior di lab sistem operasi menyiapkan sebuah distro linux yang oleh teman-teman dideskripsikan sebagai “stabil, tapi paling susah diinstall dan dikelola”. Distro tersebut ternyata adalah Debian GNU/Linux. Maklum, Debian (waktu itu mungkin masih berupa Debian 2.1 (Slink) atau Debian 2.2 (Potato)) saat itu masih kalah populer di kalangan mahasiswa newbie yang lebih akrab dengan Mandrake dan RedHat.

Nah, saat tiba waktunya mengerjakan tugas akhir (TA), Mas Andi Ardiansyah menawarkan bahan yang harus pakai OS Linux, tentang pembagian bandwidth. Tidak berhenti sampai di situ, Mas Andi juga berujar yang kurang lebih berbunyi, “kudu nganggo Debian. Yen ra nganggo Debian, aku wegah marahi” (harus pakai Debian. Kalau tidak pakai Debian aku tidak mau mengajari). Memang apa yang disampaikan Mas Andi waktu itu cukup beralasan, dan ini juga beliau buktikan dengan pembimbingan yang sampai tuntas, hingga TA-ku lulus dengan nilai A. Saat mengajari mekanisme kompilasi kernel, instalasi paket, networking, dan lain sebagainya, saya diuntungkan oleh idealisme Mas Andi untuk men-Debian-kan saya. Apalagi, kondisi saya waktu itu masih blank, belum pernah serius dengan satu distro pun. Memang, ini tergolong sangat terlambat untuk mempelajari Linux di masa kuliah, mengingat sudah menginjak tahun ke empat sejak saya mulai berstatus sebagai mahasiswa.

Nah, sejak lulus TA (dan lulus kuliah tentunya) dan lalu bekerja di Gamatechno, saya makin jarang menggunakan Linux, namun sesekali mengotak-atik dan mencoba beberapa hal baru. Saat di Gamatechno pula saya kenal dengan Ubuntu mulai versi 5.04 (Hoary Hedgehog) ketika salah seorang rekan kerja menunjukkan CD Sleeve yang didapatkannya via ShipIt. Karena sudah tertanam di benak bahwa Debian adalah “The one true Linux” dan faktor nama Ubuntu yang terdengar lucu waktu itu, saya tetap memilih menggunakan Debian. Hingga saat saya keluar dari Gamatechno yang hampir bersamaan dengan peluncuran Debian 3.1 (Sarge), saya masih berupaya membackup keempatbelas CD-nya ke Aris Priyantoro. Maklum, saya yakin di Pacitan CD-CD tersebut akan berguna saat tidak ada koneksi internet yang memadai.

Debian tetap saya pertahankan sebagai distro utama saat Beryl mulai menjadi trend, dan saya juga mengkoleksi keduapuluh satu ISO image dari Debian 4.0 (Etch), meski tidak selalu dipakai. Bahkan siswa/i TKJ yang saya kenalkan dengan OS Linux, saya arahkan untuk menggunakan Debian, dengan dalih bahwa Debian digunakan di World Skills Challenge Competition (WSC), semacam Lomba Kompetensi Siswa (LKS) tingkat internasional. Pada masa-masa itu saya juga terlibat diskusi panjang yang membahas Debian vs Ubuntu, dengan Iwan Setiawan, project maintainer distro lokal UGM turunan Debian, Kuliax. Intinya saya cuma mengangguk-angguk dan mengiyakan saat beliau mengutarakan kekurangsukaannya dengan kepopuleran Ubuntu yang membuat orang awam mengira “Linux adalah Ubuntu”, dan melupakan para maintainer dan coder yang telah mengembangkan Debian, distro induknya, setelah puluhan tahun lamanya. Saat itu saya mengeluhkan tentang ditunda-tundanya peluncuran Debian Etch, sambil menunjukkan berita mengenai permasalahan penggajian maintainer di Debian. Hal ini kontras sekali dengan apa yang terjadi di Ubuntu, di mana pendanaan demikian besarnya dari Canonical Ltd. yang dimiliki oleh Mark Shuttleworth.

Hingga kini, dari apa yang saya amati, pembandingan antara Debian dengan Ubuntu berkisar pada statement berikut :

  • Debian lebih stabil karena mekanisme klasifikasi package-nya yang sangat ketat, bahkan untuk mengeluarkan rilis stable versi baru saja cenderung molor karena saking ketatnya. Berbeda dengan Ubuntu yang rutin dan terjadwal untuk mengeluarkan rilis baru tiap 6 bulan, meski ini tidak selalu identik dengan ketidakstabilan paket.
  • Ubuntu oleh beberapa orang (termasuk Ian Murdock, pencipta Debian) cenderung terkesan “ra duwe duga” (jw. tidak tahu diri) karena dikembangkan dari Debian, dan dalam pengembangannya menjalin kerja sama dengan Debian, namun tidak semua binary package yang dirilisnya memenuhi binary compatibility dengan rilis Debian. Ian menyebutnya sebagai “divergensi yang terlalu jauh”.
  • Karena idealismenya, Debian terpaksa me-rebranding Mozilla Firefox dengan nama Iceweasel, sebagai wujud tidak kompatibelnya lisensi Debian dengan Firefox dari Mozilla Corporation. Ini oleh beberapa orang termasuk saya, dianggap menggelikan dan aneh.
  • Paket-paket binary dari Ubuntu cenderung lebih up to date dan responsif terhadap perkembangan suatu package third party. Sehingga pemakai Ubuntu, terutama pengguna desktop, akan lebih dimanjakan jika menggunakan Ubuntu, dibanding jika menggunakan Debian. Sebut saja penggunaan OpenOffice.Org, Gnome, KDE, hingga ntfs-3g.

Dan akhirnya, inti dari artikel (atau posting) memusingkan ini, saya memutuskan untuk memformat partisi Debian Etch di harddisk laptop saya karena “murka” dengan pilihan yang ditawarkan ketika ingin menikmati Compiz Fusion pada pertengahan Desember 2007 lalu. Dari hasil Googling, tidak ada pilihan lain bagi pengguna Debian Etch selain menginstall package yang tergolong unstable agar bisa menikmati Compiz Fusion. Di lain sisi, Ubuntu yang sudah beberapa bulan berselang (dari Oktober) merilis Ubuntu 7.10 (Gutsy Gibbon), malah menyertakan (dan menginstallkan) Compiz Fusion by default. Dasar saya orangnya mudah terbawa perasaan, akhirnya pilihan saya jatuhkan dengan mantap pada Ubuntu untuk desktop saya. Hal ini juga saya tindak lanjuti dengan mendownload 5 “keping” ISO image Ubuntu Repository DVD dari Repo UGM, dengan maksud mempermudah install package saat terisolir dari koneksi internet, juga untuk disediakan bagi yang membutuhkan di Repo ICT Center Pacitan. Untuk server, selain memakai Debian, saya masih menggunakan beberapa “distro” unix-like yang proprietary.

Silakan ditanggapi dengan apa adanya, dan mohon dikoreksi jika ada salah fakta.


Aksi

Information

6 responses

11 01 2008
hyorinmaru

Pertamax… :mrgreen:
*baca ntar aja, ehehehe… 😉 *

11 01 2008
bayu

Om, kenal ma mas guru namanya Johan… dulu saya sempat bareng waktu sertifikasi asesor KKPI di Malang.
Kalo kenal, nitip salam ya……..

Oh ya, untuk linux, sama deh aku juga pake ubuntu dan mint….

16 01 2008
Jokoo

jadi pingin install tuh ubuntu… kapan ya… 🙂
kapan-kapan aja dah…

17 01 2008
hyorinmaru

@Jokoo: “kapan-kapan” *halah… 😛 *
Kapan-kapan… *kaya’ lagu lawas… 😛 *
Kita tunggu aja, kapan coba… Paling ketiduran. Eh, bukan ketiduran dink, tp lbh tepatnya “nidurin anak, trus (emang niat ngikut) ketiduran…” 😛

23 01 2008
dani iswara

abis ubuntu, kira2 bakalan pindah lg ngga ya.. 🙂
salam..

24 01 2008
gurumutant

@dani iswara :
Salam kenal Mas Dani !
Hmm.. iya ya.. padahal lumayan banyak “influence” dari luar, semisal utk mencba Slackware (Pak Fathoni), CentOS (oleh salah satu admin Jardiknas). Tapi kalo balik ke Debian lagi… hiks.. depends. Mungkin jika faktor idealisme meningkat jadi dominan, saya bakal balik ke Debian. Jadi inget semboyan “The one true Linux”…

Tinggalkan Balasan ke gurumutant Batalkan balasan